Fantasi Bersama Nadia Sahabat Istriku

Kejadiannya ketika aku sdh berkeluarga dan sudah memiliki 1 anak umur ±2 thn, usiaku kala itu 30 thn. Kami baru pindah ke sebuah kompleks perumahan di kota S yg masih sangat baru. Belum banyak penghuni yg menempatinya, malahan di gang rumahku (yg terdiri dari 12 rumah) baru 2 rumah yg ditempati, yaitu rumahku dan rumah Tora.

Tora juga sudah beristri, namanya Nadia. Mereka belum punya anak sekalipun sudah menikah lebih dari 2 thn. Rumah Tora hanya berjarak 2 rumah dari rumahku. Karena tidak ada tetangga yang lain, kami jadi cepat sekali akrab.

Aku dan Tora jadi seperti sahabat lama, kebetulan kami seumuran dan hobi kami sama, catur. Nadia, yang berumur 26 thn, juga sangat dekat dgn istriku, Nina. Mereka hampir tiap hari saling curhat tentang apa saja, dan soal seks juga sering mereka perbincangkan. Biasa mereka berbincang di teras depan rumahku kalau sore sambil Nina menyuapi Niko, anak kami. Mereka sama sekali tidak tahu kalau aku sering “menguping” rumpian mereka dari kamarku.

Aku jadi banyak tahu tentang kehidupan seks Nadia dan suaminya. Intinya Nadia kurang “happy” soal urusan ranjang ini dgn Tora. Bukannya Tora ada kelainan, tapi dia senangnya tembak langsung tanpa pemanasan dahulu, sangat konservatif tanpa variasi dan sangat egois. Begitu sudah ejakulasi ya sudah, dia tidak peduli dgn istrinya lagi.

Sehingga Nadia sangat jarang mencapai kepuasan dgn Tora. Sebaliknya istriku cerita ke Nadia kalau dia sangat “happy” dgn kehidupan seksnya. Dan memang, sekalipun aku bukan termasuk “pejantan tangguh”, tapi aku hampir selalu bisa memberikan kepuasan kepada istriku.

Mereka saling berbagi cerita dan kadang sangat mendetail malah. Sering Nadia secara terbuka menyatakan iri pada istriku dan hanya ditanggapi dgn tawa ter-kekeh² oleh Nina.

Wajah Nadia cukup cantik, sekalipun tidak secantik istriku memang, tapi bodinya sungguh sempurna, padat berisi. Kulitnya yang putih juga sangat mulus. Dan dalam berpakaian Nadia termasuk wanita yang “berani” sekalipun masih dalam batas² kesopanan.

Sering aku secara tak sadar menelan ludah mengaggumi tubuh Nadia, diluar tahu istriku tentu saja. Sayang sekali tubuh yang demikian menggiurkan jarang mendapat siraman kepuasan seksual, sering aku berpikiran kotor begitu. Tapi semuanya masih bisa aku tangkal dgn akal sehatku.

Jum’at petang itu kebetulan aku sendirian di rumah. Nina, dan Niko tentu saja, paginya pulang ke rumah orangtuanya di M, karena hari Minggunya adik bungsunya menikah. Rencananya Sabtu pagi akan akan menyusul ke M. Kesepian di rumah sendirian, setelah mandi aku melangkahkan kaki ke rumah Tora. Maksud hati ingin mengajak dia main catur, seperti yang sering kami lakukan kalau tidak ada kegiatan.

Rumah Tora sepi² saja. Aku hampir mengurungkan niatku untuk mengetuk pintu, karena aku pikir mereka sedang pergi. Tapi lamat² aku dengar ada suara TV. Aku ketuk pintu sambil memanggil “Tora .. Tora,” Beberapa saat kemudian terdengar suara gerendel dan pintu terbuka.

Aku sempat termangu sepersekian detik. Di depanku berdiri sesosok perempuan cantik tanpa make-up dgn rambut yang masih basah tergerai sebahu. Dia mengenakan daster batik mini warna hijau tua dgn belahan dada rendah, tanpa lengan yang memeperlihatkan pundak dan lengan yang putih dan sangat mulus.

“Eh .. Mas Benny. Masuk Mas,” sapaan ramah Nadia menyadarkan aku bahwa yang membukakan pintu adalah Nadia. Sungguh aku belum pernah melihat Nadia secantik ini. Biasanya rambutnya selalu diikat dengan ikat rambut, tak pernah dibiarkan tergerai seperti ini.
“Nnng … Tora mana Nad?”
“Wah Mas Tora luar kota Mas.”
“Tumben Nad dia tugas luar kota. Kapan pulang?”
“Iya Mas, kebetulan ada acara promosi di Y, jadi dia harus ikut, sampai Minggu baru pulang. Mas Benny ada perlu ama Mas Tora?”

“Enggak kok, cuman pengin ngajak catur aja. Lagi kesepian nih, Nina ama Niko ke M.”
“Wah kalo cuman main catur ama Nadia aja Mas.”
Sebetulnya aku sudah ingin menolak dan balik kanan pulang ke rumah. Tapi entah bisikan darimana yang membuat aku berani mengatakan: “Emang Nadia bisa catur?”
“Eit jangan menghina Mas, biar Nadia cewek belum tentu kalah lho ama Mas.” kata Nadia sambil tersenyum yang menambah manis wajahnya.

“Ya bolehlah, aku pengin menjajal Nadia,” kataku dgn nada agak nakal.
Lagi² Nadia tersenyum menjawab godaanku. Dia membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan aku duduk di kursi tamu.
“Sebentar ya Mas, Nadia ambil minuman. Mas susun dulu caturnya.”

Nadia melenggang ke ruang tengah. Aku semakin leluasa memperhatikannya dari belakang. Kain daster yang longgar itu ternyata tak mampu menyembunyikan lekuk tubuh Nadia yang begitu padat.
Goyangan kedua puncak pantatnya yg berisi tampak jelas ketika Nadia melangkah. Mataku terus melekat sampai Nadia menghilang di pintu dapur. Buru² aku ambil catur dari rak pajangan dan aku susun di atas meja tamu.

Pas ketika aku selesai menyusun biji catur, Nadia melangkah sambil membawa baki yang berisi 2 cangkir teh dan sepiring kacang goreng kegemaran aku dan Tora kalau lagi main catur. Ketika Nadia membungkuk meletakkan baki di meja, mau tak mau belahan dada dasterya terbuka dan menyingkap dua bukit payudara yang putih dan sangat padat.

Darahku berdesir kencang, ternyata Nadia tidak memakai bra! Tampaknya Nadia tak sadar kalau sudah “mentraktir” aku dgn pemandangan yang menggiurkan itu. Dgn wajar di duduk di kursi sofa di seberang meja.
“Siapa jalan duluan Mas?”
“Nadia kan putih, ya jalan duluan dong,” kataku sambil masih ber-debar².

Beberapa saat kami mulai asik menggerakkan buah catur. Ternyata memang benar, Nadia cukup menguasai permaian ini. Beberapa kali langkah Nadia membuat aku harus berpikir keras. Nadia pun tampaknya kerepotan dgn langkah²ku.

Beberapa kali dia tampak memutar otak. Tanpa sadar kadang² dia membungkuk di atas meja yg rendah itu dgn kedua tangannya bertumpu di pinggir meja. Posisi ini tentu saja membuat belahan dasternya terbuka lebar dan kedua payudaranya yang aduhai itu menjadi santapan empuk kedua mataku. Konsentrasiku mulai buyar.

Satu dua kali dalam posisi seperti itu Nadia mengerling kepadaku dan memergoki aku sedang menikmati buah dadanya. Entah memang dia begitu tenggelam dalam berpikir atau memang sengaja, dia sama sekali tidak mencoba menutup dasternya dgn tangannya, seperti layaknya reaksi seorang wanita dalam kondisi ini.
Aku semakin berani menjelajah sekitar wilayah dadanya dengan sapuan pandanganku. Aku betul² terpesona, sehingga permaian caturku jadi kacau dan dgn mudah ditaklukkan oleh Nadia.

“Cckk cckk cckk Nadia memang hebat, aku ngaku kalah deh.”
“Ah dasar Mas aja yang ngalah dan nggak serius mainnya. Konsentrasi dong Mas,” jawab Nadia sambil tersenyum menggoda. “Ayo main lagi, Nadia belum puas nih.” Ada sedikit nada genit di suara Nadia.

Kami main lagi, tapi kali ini aku mencoba lebih konsentrasi. Permainan berjalan lbh seru, sehingga suatu saat ketika sedang berpikir, tanpa sengaja tanganku menjatuhkan biji catur yg sudah “mati” ke lantai.
Dengan mata masih menatap papan catur aku mencoba mengambil biji catur tsb dari lantai dgn tangan kananku. Rupa²nya Nadia juga melakukan hal yg sama, sehingga tanpa sengaja tangan kami saling bersenggolan di lantai.
Entah siapa yang memulainya, tapi kami saling meremas lembut jari tangan di sisi meja sambil masih duduk di kursi masing². Aku melihat ke arah Nadia, dia masih dalam posisi duduk membungkuk tapi matanya terpejam.

Jari² tangan kirinya masih terus meremas jari tangan kananku. Aku menjulurkan kepalaku dan mencium dahi Nadia dgn sangat mesra.
Dia sedikit terperanjat dengan “langkah”ku ini, tapi hanya sepersekian detik saja. Matanya masih memejam dan bibirnya yg padat sedikit terbuka dan melenguh pelan,
“oooohhh …”

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku kulum lembut bibir Nadia dengan bibirku, dia menyambutnya dgn mengulum balik bibirku sambil tangan kanannya melingkar di belakang leherku.
Kami saling berciuman dgn posisi duduk berseberangan dibatasi oleh meja. Kuluman bibir Nadia ke bibirku berubah menjadi lumatan. Bibirku disedot pelan, dan lidahnya mulai menyeberang ke mulutku. Aku pun menyambutnya dgn permainan lidahku.

Merasa tidak nyaman dalam posisi ini, dgn sangat terpaksa aku lepaskan ciuman Nadia. Aku bangkit berdiri, berjalan mengitari meja dan duduk di sisi kiri Nadia. Belum sedetik aku duduk Nadia sudah memeluk aku dan bibirnya yg kelihatan jadi lebih sensual kembali melumat kedua bibirku.

Lidahnya terus menjelajah seluruh isi mulutku sepanjang yg bisa dia lakukan. Aku pun tak mau kalah bereaksi. Harus aku akui bahwa aku belum pernah berciuman begini “hot”, bahkan dgn istriku sekalipun. Rasanya seumur hidup kami berciuman begini, sampai akhirnya Nadia agak mengendorkan “serangan”nya.

Kesempatan itu aku gunakan untuk mengubah arah seranganku. Aku ciumi sisi kiri leher Nadia yang putih jenjang merangsang itu. Rintih kegelian yg keluar dari mulut Nadia dan bau sabun yg harum semakin memompa semangatku.

Ciumanku aku geser ke belakang telinga Nadia, sambil sesekali menggigit lembut cuping telinganya. Nadia semakin menggelinjang penuh kegelian bercampur kenikmatan.
“Aaaahhhh … aaaahhhhh,” rintihan pelan yang keluar dari mulut Nadia yang terbuka lebar seakan musik nan merdu di telingaku.

Lengan kananku kemudian aku rangkulkan ke leher Nadia. Tangan kananku mulai menelusup di balik dasternya dan merayap pelan menuju puncak buah dada Nadia yg sebelah kanan. Wow … payudara Nadia, yang sedari tadi aku nikmati dgn sapuan mataku, ternyata sangat padat. Bentuknya sempurna, ukurannya cukup besar karena tanganku tak mampu mengangkup seluruhnya. Jari²ku mulai menari di sekitar puting susu Nadia yang sudah tegak menantang.

Dengan ibu jari dan telunjukku aku pelintir lembut puting yang mungil itu. Nadia kembali menggelinjang kegelian, namun tanpa reaksi penolakan sedikitpun. Dia menolehkan wajahnya ke kiri, dgn mata yang masih terpejam dia melumat bibirku.
Kami kembali berciuman dgn panasnya sambil tanganku terus bergerilya di payudara kanannya. Reaksi kenikmatan Nadia dia salurkan melalui ciuman yg semakin ganas dan sesekali gigitan lembut di bibirku.

Tangan kiriku aku gerakkan ke paha kiri Nadia. Darahku semakin mengalir deras ketika aku rasakan kelembutan kulit paha mulus Nadia. Lambat namun pasti, usapan tanganku aku arahkan semakin keatas mendekati pangkal pahanya.

Ketika jariku mulai menyentuh celana dalam Nadia di sekitar bukit kemaluannya, aku menghentikan gerakanku. Tangan kiriku aku kembali turunkan, aku usap lembut pahanya mulai dari atas lutut. Gerakan ini aku ulang beberapa kali sambil tangan kananku masih memelintir puting kanan Nadia dan mulut kami masih saling berpagutan.

Ciuman Nadia semakin mengganas pertanda dia mengharapkan lebih dari gerakan tangan kiriku. Aku pun mulai meraba bukit kemaluannya yang masih terbalut celana dalam itu. Entah hanya perasaanku atau memang demikian, aku rasakan denyut lembut dari alat kemaluan Nadia.
Dengan jari tengah tangan kiriku, aku tekan pelan tepat di tengah bukit nan empuk itu. Denyutan itu semakin terasa. Aku juga rasakan kehangatan disana.
“Aaahh … Mas Ben … aahhh .. iya .. iya,”

Nadia melenguh sambil sedikit meronta dan kedua tangannnya menyingkap daster mininya serta menurunkan celana dalamnya sampai ke lututnya. Serta merta mataku bisa menatap leluasa kemaluan Nadia.
Bukitnya menyembul indah, bulu²nya cukup tebal sekalipun tidak panjang bergerombol hanya di bagian atas. Di antara kedua gundukan daging mulus itu terlihat celah sempit yang kentara sekali berwarna merah kecoklatan. Sedetik dua detik aku sempat terpana dengan pemandangan indah yg terhampar di depan mataku ini.

Kemudian jari² tangan kiriku mulai membelai semak² yg terasa sangat lembut itu. Betul² lembut bulu² Nadia, aku tak pernah mambayangkan ada bulu pubis selembut ini, hampir selembut rambut bayi
Nadia mereaksi belaianku dengan menciumi leher dan telinga kananku. Kedua tangannya semakin erat memeluk aku. Tangan kananku dari tadi tak berhenti me-remas² buah dada Nadia yang sangat berisi itu.
Jari²ku mulai mengusap lembut bukit kemaluan Nadia yang sangat halus itu. 

Perlahan aku sisipkan jari tengah kiriku di celah sempit itu. Aku rasakan sediit lembab dan agak berlendir. Aku menyusup lebih dalam lagi sampai aku menemukan klitoris Nadia yg sangat mungil dengan ujung jariku. Dgn gerakan memutar lembut aku usap benda kecil yang nikmat itu.

“Ahhhh … iya … Mas .. Ben … ahhhh .. ahhhh.”
Jari tengahku aku tekan sedikit lebih kuat ke klitoris Nadia, sambil aku gosokkan naik turun. Nadia meresponsnya dengan membuka lebar kedua pahanyan, namun gerakannya terhalang celana dalam yg masih bertengger di kedua lututnya.

Sejenak aku hentikan gosokan jariku, aku gunakan tangan kiriku untuk menurunkan benda yang menghalangi gerakan Nadia itu. Nadia membantu dgn mengangkat kaki kirinya sehingga celana dalamnya terlepas dari kaki kirinya. Sekarang benda itu hanya menggantung di lutut kanan Nadia dan gerankan Nadia sudah tak terhalang lagi.

Dgn leluasa Nadia membuka lebar kedua pahanya. Dari sudut pandang yang sangat sempit aku masih bisa mengintip bibir kemaluan Nadia yang begitu tebal merangsang, hampir sama tebal dan sensualnya dgn bibir atas Nadia yang masih menciumi leherku. Jariku sekarang leluasa menjelajah seluruh kemaluan Nadia yang sudah sangat licin berlendir itu.

Aku gosok² klitoris Nadia dgn lebih kuat sambil sesekali mengusap ujung liang kenikmatannya dan aku gesek keatas kearah klitorisnya. Aku tahu ini bagian yang sangat sensitif dari tubuh wanita, tak terkecuali wanita molek yg di sampingku ini. Nadia menggelinjang semakin hebat.

Tamat

To Top